Jalan: Part 6

Nafsu
Amarah
Kesombongan

Mereka berbaris rapih
Menunggu giliran tampil

Menunggu untuk memperlihatkan gigi dan taring

Terkutuklah orang yang memelihara
Yang membiarkan mereka berbaris rapih

Karena suatu saat
Mereka akan mencuat

Dan mengoyakmu hatimu hingga mati

Gue cuma bisa senyum sambil geleng-geleng kepala. Gue masih agak heran sebenarnya, kenapa nomor Dita jadi seakan-akan jadi kayak nomor panitia lomba nulis puisi. “Rame banget ya HP lo. Berasa tiap hari ada lomba menulis puisi gak sih? Kayak tiap hari, orang-orang seakan gak hentinya berusaha showcase kemampuan mereka ke lo. Seakan gak henti-hentinya pengen dapet perhatian lebih dari lo.”

“Iya sih. Cuma ya gua pikir sih mereka sebenarnya begitu karena gua cantik doang. Coba aja lo pikir, gua gak kenal mereka dan mereka gak tau siapa gua sebenarnya. Mereka tau gua cuma dari permukaan doang, dari gosip-gosip yang beredar, dari omongan-omongan yang gak jelas bener apa enggaknya. Terus bedanya gua sama cewek-cewek lain apa? Apa alasan mereka buat seperti itu sama gua, tapi mereka gak buat itu ke cewek-cewek lain? Toh sama aja gua sama cewek lain, ya kan? Sama-sama gak kenal. Satu-satunya alasan paling masuk akal ya paling karena tampang sama bodi gua doang. Karena gua punya itu, mereka nguber-nguber, mereka merangkai kata-kata, mereka jadi gila. Gua pikir sih cowok-cowok kayak gitu gak segitu pentingnya buat dicari tau siapa mereka sebenarnya, sekalipun sebenarnya gua salut sama orang yang jago bikin karya sastra. Buat gua, mereka gak akan pernah jadi lebih dari seorang penulis. Penulis yang gua baca karya-karyanya tapi gua gak kenal siapa mereka.”

There you go.. Gue heran kenapa cewek kalau ngomong bisa panjang banget. Jawabannya barusan itu kayak seorang pemimpin pasukan pejuang kemerdekaan yang lagi orasi membangkitkan semangat anak buahnya. Cocok banget kalau diujungnya ditambahin sorak-sorak semacam “Hidup Dita! Merdeka! Merdeka!”

merdeka

 

“Udeh, gak usah terlalu semangat orasinya. Kayak pejuang kemerdekaan jatohnya, tau gak sih lo?”

“Siake lo Bud. Gua beri juga nih”

“Beri apa? Beri ciuman?”

“Ngarep!”

“Hahaha, ya abis. Lo tegang amat kayaknya. Kenapa sih tiap kali disinggung tentang orang-orang yang kirim puisi begini, pasti langsung ngoceh panjang lebar. Emang ada apa?”

“Ya karena gua suka puisi Bud. Sikap orang-orang yang ngirim puisi dengan cara sembunyi-sembunyi kayak gini ngerusak selera gua terhadap karya sastra. Di satu sisi, kadang apa yang mereka kirim itu keren, tapi di sisi lain, attitude mereka itu enggak banget. Kenapa gak kirim itu ke orang yang bener-bener mereka kenal dan mereka kagumi? Bukan buat orang kayak gua yang mereka sukai cuma karena fisiknya doang. Gua gak butuh pengagum-pengagum, gua gak butuh orang-orang seperti ini buat tergila-gila sama gua. Gua butuh orang-orang kayak lo yang bisa ngajarin gua banyak hal, ngajarin gua cara pandang yang benar.”

Jidat gue langsung berkerut seketika. Wait wait, barusan dia bilang apa? Dia butuh gue?

“Bentar bentar, coba ulangin kalimat terakhir”

“Gua butuh orang-orang kayak lo yang bisa …”

“Lo.. butuh gue?”

Dita terdiam.

– bersambung –


=========

Sebelumnya:

4 pemikiran pada “Jalan: Part 6

Ada tanggapan?