Tulisan: Part 3

Semenjak gue tinggal di kosan gue yang sekarang, kalau gue lagi suntuk,  gue punya semacam kebiasaan untuk duduk diam memandangi langit berjam-jam.

Letak kamar kosan gue ada di pojok. Setelah naik tangga ke lantai dua, lurus sampai mentok, itulah kamar gue. Kebetulan di antara penghuni kosan, gue satu-satunya mahasiswa yang kos di situ, penghuni kosan yang lain adalah orang-orang yang udah pada kerja, jadi pagi-pagi begini kosan sepi. Hampir bisa dipastikan kalau ga akan ada yang ganggu ritual gue mandangin langit kali ini.

Duduk diam sambil memandangi langit adalah cara gue untuk mengisi kembali semangat. Banyak orang yang salah mengerti dengan orang-orang yang berkepribadian introvert seperti gue. Disangkanya gue lebih sering menyendiri karena ga punya teman.

Tidak bisa dipungkiri, kita hidup di dunia yang seolah mengagung-agungkan tipe kepribadian ekstrovert. Mereka adalah pribadi-pribadi yang gaul, mereka trend setter, mereka bisa bangga karena semua orang tau mereka, mereka punya banyak relasi dan koneksi yang mempermudah hidup mereka, merekalah mahluk sosial yang sebenarnya, merekalah mahluk-mahluk unggul dan semua orang harus mencontoh mereka.

Kadang gue berpikir kalau gue lebih cocok dengan kultur budaya barat yang individualis. Hidup sebagai introvert di daerah Asia memang tidak mudah. Orang yang suka menyendiri akan dianggap aneh karena orang-orang Asia terkenal dengan kultur koletivisme / kultur kebersamaan yang sangat tinggi. Salah satu istilah yang paling menggambarkan kultur koletivisme di Indonesia adalah jargon “mangan ora mangan, asal ngumpul” atau kalau diterjemahkan, “makan ga makan, asal ngumpul”. Kebayang kan semangatnya buat ngumpul-ngumpul?

Padahal, bukannya gue gak suka ngumpul, kegiatan gue kalau lagi menyendiri terkadang menurut gue jauh lebih bermakna dari sekedar ngumpul-ngumpul tanpa tujuan.

bandung's late oktober sky

Pagi itu, gue memandangi langit biru sembari memikirkan tiga kata terakhir dari tulisan Dita. Tiga kata yang sangat aneh kalau menurut gue, “Bunuh diri Budi”. Apa coba yang bisa disimpulkan dari bunuh diri dan Budi? Sama sekali gak ada hubungan antara bunuh diri dan diri gue. Atau jangan-jangan dia mau bunuh diri? Ah, kayaknya tadi pagi..

Belum sempat gue menyelesaikan kalimat dalam kepala, tiba-tiba gue teringat sama jurnal tentang bipolar disorder yang baru aja gue baca. Orang yang mengalami gangguan bipolar akan mengalami perubahan mood yang relatif cepat dan ekstrim dari fase manik (level energi tinggi) ke fase depresi (level energi rendah). Gue jadi teringat dengan perubahan suasana yang tiba-tiba waktu dia selesai menulis kata-kata terakhir dan merobek lembarannya. Jangan-jangan waktu itu dia lagi pindah ke level energi rendah sehingga waktu itu tiba-tiba merasa depresi dan ingin bunuh diri. Gak heran setelah merobek kertas, dia tiba-tiba jadi lebih banyak bengong.

Gue tersentak. Buru-buru gue merogoh HP dari kantong celana lalu membuat panggilan ke nomor Dita. Terdengar bunyi nada sambung beberapa kali, tapi gak diangkat.

Gimana kalau dia beneran lagi mau bunuh diri sekarang? Pikiran gue mendadak buntu karena panik. Waktu gue lagi berusaha menghilangkan panik, mendadak masuk sebuah panggilan dari Doni,

“Halo Don, kenapa?”

“Bud! Lo harus ke kampus sekarang juga. Dita baru aja ditemuin di toilet lantai dasar gedung psikologi dalam keadaan gak sadar dan mulut berbusa.”

“Hah? Parah! Ngapain lo telpon gue! Buruan telpon ambulans!” kata gue sambil marah-marah.

“Justru itu Bud, gw gak tau nomor telpon ambulans!”

Doni ketek! Kalau dia punya istri dan istrinya lagi sekarat, mungkin istrinya akan mati konyol gara-gara dia gak punya nomor telpon ambulans terus nelpon temennya tapi temennya gak tau juga nomor telpon ambulans.

Setelah sempat melakukan kalkulasi waktu yang diperlukan oleh ambulans untuk sampai ke kampus dan jemput Dita, gue akhirnya ambil keputusan, “Lo cari temen lo yang bawa mobil, bawa Dita ke rumah sakit segera. Buat cadangan kalau lo gak segera nemu orang yang bawa mobil, gue sekarang ke sana. Sekitar 3 menit lagi sampai.

“Iya Bud, oke”

Gue buru-buru ambil kunci sepeda motor gue, lalu langsung ngebut ke kampus. Hampir gak pernah gue pakai motor ke kampus, biasanya motor ini cuma dipakai untuk menempuh jarak puluhan kilo yang terlalu jauh untuk ditempuh sama sepeda.

Begitu gue sampai ke toilet cewek di gedung psikologi, ternyata Dita masih ada di sana. Gue mengendus bau karbol yang kuat. Sepertinya benar-benar Dita mencoba bunuh diri dengan cara menenggak karbol pembersih toilet.

– bersambung –

============

Sebelumnya:

Ada tanggapan?