Jalan: Part 2

Setelah makan lele di dekat rumah sakit, gue akhirnya antar Dita pulang ke rumahnya. Sebenernya dari dulu gue penasaran bentuk rumah Dita seperti apa. Dia sering cerita tentang rumahnya tapi gue masih belum terbayang bentuk nyatanya seperti apa. Gue kira, dengan nganter dia pulang, gue nanti bisa ngintip bentuk rumahnya sekilas lewat sela-sela pagar besi. Kan biasanya bolong-bolong tuh. Tapi ternyata niat gue terhalang oleh gerbang setinggi 3 meter yang terbuat dari kayu. Sial, gak ada celah buat ngintip sama sekali.

Di sebelah kiri dan kanan gerbang ada dinding yang gak kalah tingginya dan dipenuhi oleh tanaman rambat yang menjalar. Tanaman itu memenuhi dinding dari atas sampai bawah sehingga gak jelas lagi warna dasar cat di dinding pagar itu.

wooden gate

Buat sementara, gue belum bisa ambil kesimpulan apa-apa tentang bentuk rumahnya karena emang gak kelihatan. Buat gue, menilai rumah hanya berdasarkan dari bentuk dan jenis pagarnya itu sama konyolnya dengan menilai enaknya melon dari penampilannya. Dulu, waktu kecil, gue sempat gak mau makan melon karena kelihatannya agak berlendir, tapi begitu coba malah ketagihan. Akhirnya setelah besar, gue jadi benar-benar paham makna dari don’t judge the book by its cover karena pernah punya pengalaman yang hampir serupa. Enaknya melon ternyata gak bisa dinilai cuma dari lendirnya.

Setelah nganter sampai gerbang dan basa-basi biasa soal ajakan mampir dari Dita, gue langsung mengarahkan motor ke kosan. Gue akhirnya memutuskan untuk gak mampir karena pengen belajar materi kuliah Psikologi Sosial.

Sesampainya di kamar, gue langsung buka buku teks kuliah lalu mencoba tenggelam pada pembahasan mengenai bias antar grup. Walaupun topik bahasannya cukup menarik, entah kenapa saat itu gue sulit fokus. Pikiran gue seringkali melayang-layang entah kemana. Waktu lagi baca juga seringkali gue tiba-tiba tertidur sepersekian detik.

Setelah mengalami microsleep, gue akhirnya sadar kalau gue kecapekan. Mungkin gara-gara hari ini gue mengalami peristiwa yang menguras emosi dan tenaga. Setelah beberapa lama berjuang untuk melanjutkan, akhirnya gue menghela napas panjang sembari bergumam “Oke, baiklah.. gue nyerah, gue butuh istirahat..”. Gue lalu beranjak dari kursi dan membaringkan diri di kasur.

Waktu lagi mencoba memejamkan mata, tiba-tiba gue teringat lagi pintu gerbang rumah Dita yang termasuk unik. Pintu kayu itu membuat gue kepikiran kalau Dita adalah anak dari tukang kayu. Terus tadinya bokap Dita tinggal sendirian. Karena kesepian dan bosen bikin gerbang dari kayu, akhirnya bokapnya bikin anak dari kayu. Terus entah gimana ceritanya, tiba-tiba Dita jadi hidup. Karena ngerasa jago, bokapnya bikin lagi seorang anak baru yang namanya Pinokio. Jadi sebenernya, Dita dan Pinokio itu saudaraan..

Gue akhirnya geleng-geleng dan geli sendiri setelah imajinasi gue yang terlalu tinggi itu selesai. Menurut teorinya, dalam keadaan letih, otak sulit untuk fokus. Tapi sebenarnya kondisi seperti ini adalah berkah, karena seringkali ide-ide kreatif timbul dalam keadaan lelah. Dalam kondisi tubuh letih, otak akan mengakses memori secara acak, bukan secara berurutan. Akses yang acak itu bisa tiba-tiba mengakibatkan dua hal yang tadinya gak nyambung bisa jadi kelihatan nyambung. Misalnya hubungan antara susu dan radio. Sekilas ga ada hubungannya, tapi SUSU MURNI bisa jadi singkatan dari SUka SUka kaMU Request lagu masa kiNI. Kurang lebih seperti itulah kerja otak ketika kondisi tubuh sedang lelah.

Anyway, jaman sekarang sepertinya susah menemukan rumah yang punya gerbang dari kayu karena butuh biaya perawatan yang gak sedikit. Masa pakainya juga terbatas karena gerbang dari kayu bisa lapuk dan harus diganti dengan gerbang baru. Kalau melihat kondisi gerbangnya yang masih sangat terawat, sepertinya..

Tiba-tiba muncul sebuah hubungan baru antara dua hal yang tadinya gak saling berhubungan, sebuah ide baru tiba-tiba muncul. Gue coba mencocokkan ide yang barusan muncul itu dengan cerita Dita tentang party di rumahnya. Kebiasaan hedon biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang yang cukup berduit. Dan lagi, kalau bisa pesta di rumah dan pasang musik kencang tanpa mengundang protes tetangga, kemungkinannya adalah dia punya halaman yang sangat luas atau dia punya sebuah ruangan khusus yang kedap suara di rumahnya. Selain dari dua hal itu, sepertinya gak mungkin bisa party di rumahnya tanpa dapet timpukan telor atau makian dari tetangga. Akhirnya gue dapat kesimpulan bahwa ada indikasi kuat kalau Dita berasal dari keluarga kaya.

Kaya dan bahagia.. Unik juga ternyata. Banyak orang mengira bahwa menjadi kaya adalah jaminan bahagia tapi seringkali gue temui kenyataan yang terbalik. Walaupun kaya, justru hidupnya tidak bahagia.

Menurut cara pandang gue, sesungguhnya menjadi kaya adalah state of mind, sebuah keadaan mental. Buruh bergaji 4 juta/bulan tapi nyicil motor ninja seharga 1,3 juta/bulan cuma buat gengsi, bisa dibilang punya mental orang miskin. Pikirannya sendiri membuat dia jadi miskin dengan mengejar kemewahan-kemewahan yang gak perlu. Sebaliknya, pemulung yang berpenghasilan 2 juta/bulan tapi bisa menabung 500 ribu/bulan + punya rasa bersyukur dan cukup, mempunyai mental yang mengantarkan dia kepada makna kekayaan yang sebenarnya.

Seringkali, orang terlalu berfokus pada apa yang tidak dia miliki. Seringkali orang mengejar hal-hal yang gak perlu dan merasa menderita kalau gak mendapatkan apa yang mereka inginkan sementara semua yang telah kita punya seringkali gagal kita syukuri.

Gak jarang, gara-gara gak punya pacar sementara temennya pada punya semua, seseorang bisa mendadak galau tingkat dewa lalu tulis status di facebook, “Duh, kapan ea aku punya pacar?” Pertanyaan berikutnya, terus setelah nulis status begitu, bisa jadi punya pacar? Pacar mah tetep gak dapet, yang ada malah dikatain alay.

Kasus yang hampir sama bisa diamati terjadi pada Dita. Walaupun cantik dan sepertinya kaya, tapi dia memutuskan untuk menjadi menderita setelah mengalami berbagai kejadian yang ga enak. Karena gagal mensyukuri, bahkan dia berubah secara ekstrim jadi pribadi Dita yang lain.

Gue teringat juga sama status salah seorang teman gue yang galau gara-gara gak punya duit untuk renovasi rumah. Padahal punya rumah aja sudah merupakan sebuah keuntungan, banyak orang di luar sana tidur di jalan karena gak punya rumah. Betapa banyak sebenarnya berkat yang kita dustakan..

Setelah kontemplasi yang cukup panjang, akhirnya gue sampai pada suatu kesadaran baru. Orang yang meratapi keadaannya, seberapapun uang yang ada di tabungannya, adalah orang miskin yang sesungguhnya. Sementara orang yang bisa benar-benar bersyukur dengan keadaannya, seberapapun minim keadaannya, adalah orang kaya yang sesungguhnya.

– bersambung –

=========

Sebelumnya:

4 pemikiran pada “Jalan: Part 2

Ada tanggapan?